Ketidakadilan dan Luka yang Tercipta dari Tunjangan hingga Tragedi Brimob

Sebagai rakyat biasa, saya merasa hati ini semakin teriris melihat kebijakan yang dibuat oleh para pemimpin kita. Baru-baru ini saya mendengar bahwa anggota DPR diberikan tunjangan perumahan sebesar Rp50 juta per bulan. Wakil Ketua DPR Sufmi Dasco Ahmad mengatakan tunjangan ini dibayarkan mulai Oktober 2024 sampai Oktober 2025 untuk kontrak rumah. Tapi bayangkan, tunjangan itu hampir sepuluh kali lipat upah minimum di Jakarta. Tak heran ribuan mahasiswa, pekerja, dan aktivis turun ke jalan menuntut keadilan. Mereka menilai kebijakan ini hanyalah salah satu contoh bagaimana elit semakin jauh dari realitas rakyat.


Puncaknya, demonstrasi di depan gedung DPR pada akhir Agustus berubah menjadi tragedi. Pada Kamis malam, 28 Agustus 2025 sekitar pukul 19.25 WIB, saat polisi membubarkan massa, sebuah kendaraan taktis Brimob melaju di Jalan Penjernihan I, Bendungan Hilir. Dua pengemudi ojek online, Affan Kurniawan dan Moh Umar Amarudin, terjatuh lalu terlindas kendaraan tersebut. Affan meninggal dunia, sedangkan Umar mengalami luka berat. Saksi mata mengatakan kendaraan itu terus melaju tanpa berhenti. Saya ngeri membayangkan bagaimana nasib rakyat kecil yang hanya berusaha mencari nafkah bisa diabaikan begitu saja.


Setelah peristiwa itu, Komnas HAM bergerak cepat. Mereka mengumumkan akan memeriksa tujuh anggota Brimob yang ada di dalam kendaraan tersebut. Komnas HAM juga menemukan indikasi kuat penggunaan kekerasan berlebihan oleh aparat saat membubarkan demonstrasi. Insiden penabrakan ini terjadi setelah demonstran di sekitar kompleks parlemen dibubarkan, dan kejadian diduga berlangsung di daerah Pejompongan. Kapolri Listyo Sigit Prabowo sudah menyampaikan permohonan maaf kepada keluarga Affan, namun bagi saya, permohonan maaf saja tidak cukup untuk menghapus luka dan trauma para korban.


Yang makin membuat saya bingung, dua hari sebelum tragedi itu, 25 Agustus 2025, Presiden Prabowo Subianto memberikan penghargaan Bintang Mahaputera Adipradana kepada Burhanuddin Abdullah, mantan Gubernur Bank Indonesia. Penganugerahan itu disebut sebagai penghargaan atas kontribusinya menjaga stabilitas moneter. Tapi ingatan saya langsung teringat pada fakta bahwa Burhanuddin pernah divonis lima tahun penjara karena korupsi dana Bank Indonesia sebesar Rp100 miliar pada 2008. Bagaimana mungkin seorang yang pernah menyelewengkan uang rakyat malah mendapatkan penghargaan tinggi dari negara?


Sebagai rakyat, saya merasa disorientasi. Di satu sisi, kita diminta percaya bahwa pemerintah serius memberantas korupsi dan melindungi rakyat. Di sisi lain, ada tunjangan superbesar untuk wakil rakyat dan penghargaan bagi mantan koruptor, sementara warga biasa justru menjadi korban kekerasan saat menuntut keadilan. Saya khawatir, apakah suara rakyat semakin tidak dianggap? Apakah nilai manusia biasa sudah tidak sebanding dengan kepentingan elit?


Bagi saya dan banyak warga lainnya, yang kami minta sederhana: keadilan yang nyata. Kami ingin para pemimpin hidup sederhana dan mendengarkan aspirasi rakyat, bukan justru memberi fasilitas mewah kepada diri mereka sendiri. Kami ingin polisi melindungi, bukan melukai rakyat. Kami ingin penghargaan negara diberikan kepada orang-orang yang benar-benar berintegritas, bukan kepada mereka yang pernah terbukti merugikan negara. Karena jika tidak, keadilan akan terus menjadi omong kosong, dan rakyat akan semakin kehilangan harapan.

 

0 komentar:

Posting Komentar